Senin, 31 Oktober 2011

JUAL BELI DI DALAM MASJID

Hukum jual-beli di mesjid adalah haram, berdasarkan hadits-hadits berikut,
عَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.’” (Tirmidzi: 1232 dan beliau berkata, “Hasan gharib,” Abu Daud: 400, ad-Darimi: 1365, Shahih Ibnu Hibban: 1650, dinilai shahih oleh al-Albani dan ar-Arnauth dalam Shahih Ibnu Hibban)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّرَاءِ وَ الْبَيْعِ فِي الْمَسْجِد
“Nabi shallallahu ‘alaiihi wa sallam melarang jual-beli di mesjid.” (Ibnu Majah : 749)
Imam Syaukani berkata, “Dua hadits ini menunjukkan haramnya jual-beli, bersyair, dan mengadakan halaqah sebelum . Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan ini hanya makruh.
Al-Iraqi berkata, “Ulama telah bersepakat bahwa jual-beli yang telah terjadi di mesjid tidak boleh dibatalkan.” Demikian pula kata al-Mawardi.
Engkau mengetahui bahwa memalingkan (hukum) larangan kepada makruh membutuhkan qarinah (dalil pendukung) yang memalingkan dan makna yang hakiki yaitu haram, menurut orang-orang yang berpendapat bahwa larangan itu pada hakikatnya adalah untuk pengharaman, dan ini adalah benar.
Juga ijma’ (kesepakatan) mereka, bahwa jual-beli yang telah terjadi itu sah dan tidak boleh dibatalkan, tidak bertentangan dengan larangan jual-beli (maksudnya, jual-beli tersebut tetap sah tetapi haram, pelakunya berdosa, pent). Maka, hal itu tidak boleh dijadikan sebagai qarinah guna memalingkan larangan kepada hukum makruh.
Sebagian murid asy-Syafi’i berpendapat bahwa jual-beli di mesjid tidak makruh. Hadits-hadits tadi membantah mereka. Sedangkan murid-murid Abu Hanifah membedakan, bahwa jual-beli yang ramai itu dibenci, sedangkan yang tidak ramai itu tidak dibenci. Pembedaan ini tidak ada dalilnya. (Nailul Authar: 2/455, no. Hadits 641)
Imam Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli ilmi membolehkan jual-beli di mesjid.”
Al-Allamah Mubarakfuri, dalam syarahnya, berkata, “Saya tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan demikian. Bahkan hadits-hadits bab merupakan hujjah (membantah) orang yang membolehkan.” (Tuhfatul Ahwadzi)
Syaikh Salim al-Hilali dalam al-Manahi asy-Syari’iyyah: 1/371 menyimpulkan:
  1. Jual-beli di mesjid adalah haram, sebab mesjid adalah pasar akhirat. Termasuk di antara adab-adab di mesjid adalah menyucikannya dari perkara dunia dan apa pun yang tidak ada kaitannya dengan akhirat.
  2. Larangan jual-beli di mesjid tidak mengharuskan batalnya akad. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya membuat bab “Perintah untuk Melaknat kepada Orang Yang Berjual-Beli di Mesjid Agar Tidak Beruntung Dagangannya”. Ini menunjukkan bahwa itu sah, meskipun orang yang melakukan berdosa. Katanya lagi, “Kalaulah jual-beli tidak sah, maka sabda beliau ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu’ tidak ada artinya.”
Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi 5, tahun ke-4 1425 H.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Hukum Jual Beli di Teras Masjid

Pertanyaan:
Bismillah. Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah teras luar masjid termasuk masjid yang kita dilarang berjualan di situ? Dan apa batasan suatu itu termasuk bagian dari masjid? Tolong dijawab, ustadz, karena di tempat ana terjadi konflik tentang masalah tersebut. Jazakallahu khairan.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Tidak diragukan lagi bahwa masjid didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار
Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).
Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).
Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).
Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih dalam Irwa’ul Ghalil, 5/134, no. 1295).
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).
Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual-beli di dalam masjid.
Adapun teras masjid yang ada di sekeliling masjid, bila berada dalam satu kompleks (areal) dengan masjid –karena masuk dalam batas pagar masjid–, maka tidak diragukan hukum masjid berlaku padanya. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).
Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang, maka hukum masjid tidak berlaku padanya. Demikianlah yang difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, pada Fatwa no. 11967. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.
Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A [Penasihat Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentar anda tapi Sopan dan Aman